Rabu, 21 Desember 2011
Rabu, 14 Desember 2011
Soft Skill Dunia Pendidikan
MAKALAH
PENDIDIKAN KARAKTER
Disusun oleh : diargo hendroan doni
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
YAYASAN MERANGIN (STKIP YPM BANGKO)
TAHUN AJARAN 2011/2012
KATA PENGANTAR
Puji
dan syukur kami panjatkan kepada allah Tuhan Yang Maha Esa, berkat limpahan
karunianya kami dapat menyelesaikan penulisan makalah yang berjudul “Memahami
Soft Skill Dunia Pendidikan dari Elfindri”
Makalah ini
diajukan untuk melengkapi tugas kelompok mata kuliah pendidikan karakter.
Makalah ini
berisi tentang pemahaman soft skill dunia pendidikan pendidikan.
Kami
menyadari bahwa makalah ini belum sempurna, olek karena itu kami mengharapkan
kritik dan saran dari pembaca yang dapat kami gunakan sebagai masukan untuk
perbaikan makalah berikutnya.
Akhir kata
kami mengucapkan banyak terima kasih kepada teman – teman yang telah membantu
membuat makalah ini.
Soft Skill Dunia
Pendidikan
Soft skill perlu dimiliki oleh siapapun
yang ingin menghadang kompetisi. Salah satunya merupakan amanah, dan mendukung
kegiatan keramahtamahan hospitaly.
Pada bagian ini kita memasuki tempat dimana soft
skill juga bias ditumbuhkan melalui berbagai bentuk yang dilaksanakan di
sekolah, di lingkungan pendidikan seperti kampus, dan atau dimana saja
pendidikan formal diberikan.
Kenapa di
sekolah dan kampus yang juga perlu dijadikan sebagai bagian dari proses
penemuan ranah soft skill ? Karena
sebagian besar mahasiswa menghabiskan waktunya belajar dan berintegrasi dengan
teman – temannya di kampus.
Dosen mesti
melihat ini sebagai salah satu yang sangat penting, selain tetap meningkatkan
pencapaian kualitas keilmuan dan psikomotorik. Proses pendidikan yang diberikan
di kampuspun akan menghasilkan optimalisasi dari bakat dan potensi.
Menurut
guru/ dosen atau orang tua memahami tentang eksistensi soft skill dalam konteks pengembangan anak – anak generasi
mendatang. Menuntun guru/ dosen atau orang tua memiliki kesadaran dan langkah –
langkah bagaimana memasukan soft skill ke
dalam proses pembelajaran.
BAGAN PROSES MENUMBUHKAN SOFT SKILL
Untuk mencapai agar soft skill dapat kita kuasai pertanyaan
besarnya adalah bagaimana strategi kita menumbuhkan soft skill di dunia pendidikan ? Untuk itu setidaknya dikemukakan
beberapa cara yang pantas dilakukan adalah diperlihatkan pada gambar di bawah
ini supaya mudah dipahami. Pertama adalah desain soft skill masuk ke dalam kurikulum pembelajaran. Kedua adalah
mengembangkan kegiatan dan aktifitas anak di asrama atau di rumah masing –
masing. Dan ketiga adalah mengembangkan pada kegiatan ekstra curiculer.
Cara Pertama Integrasi ke Kurikulum
Di sadari atau tidak, selama ini soft skill diberikan, kalaupun ada
melalui penetapan mata ajar. Masing – masing jurusan dan bidang memberanikan
diri menyusun masing – masing. Jika selama ini etika dalam pendidikan merupakan
sesuatu yang sulit dipahami oleh anak didik. Mengingat etika lebih diajarkan
dalam konteks teori tentang apa yang boleh dan tidak dapat dilakukan.
Yang mesti kita ajarkan adalah
etika bukan dalam bentuk proses kognitif saja, namun juga psikomotorik etika.
Contoh sebagai betikut :
‘Guru/dosen datang tepat waktu’
‘Guru/dosen bersikap sopan di
dalam kelas’
Adapun langkah – langkah
persiapan yang mesti dilalui oleh pengasuh mata ajar adalah sebagai berikut :
a.
Susun tujuan instruksional umum, dan tujuan
instruksional khusus. Dalam kaitan ini yang kebutuhan adalah kemampuan untuk
merumuskan kompetensi, yang lazim dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK).
b.
Masukan pada masing – masing sesi pelajaran soft skill apa yang akan dihasilkan.
Setelah kompetensi masing – masing sesi dirumuskan, kemudian dapat pula
memasukan bagaimana cara pembelajaran yang menumbuhkan masing – masing soft
skill yang diharapkan.
c.
Rencanakan bagaimana metode operasional
melaksanakannya, baik pada masing – masing sesi ajar, maupun pada beberapa
pertemuan.
d.
Lakukan uji coba pada suatu kelas atau
sekelompok anak.
e.
Review hasil uji coba untuk perbaikan. Sebuah
proses penerapan metode menerapkan soft
skill tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.
f.
Finalisasi metode pembelajaran. Setelah
dilakukan cara berulang, maka kemudian dapat dituliskan dalam bentuk teaching manual sebuah pembelajaran.
Selama ini setidaknya dapat kita
catat 5 jenis metode yang lazim digunakan. Ke-lima metode tersebut akan
dijabarkan secara ringkas guna dapat dipahami mana yang paling dapat diterapkan
untuk anak didik kita dan sesuai dengan lingkungannya, sebagai berikut :
1. Metode Komunitas
Pada metode ini proses pembelajaran soft skill dilakukan melalui pengumpulan
peserta didik di kelas untuk belajar sambil bersosialisasi dengan teman –
temannya. Metode ini adalah mudah mengontrol pelaksanaan kegiatan proses
belajar – mengajar.
Kelemahan metode komunitasa ini sering dijalankan
bersifat monoton atau statis saja.
2. Metode Pembelajaran Jarak Jauh Distance Learning
Pada metode ini, para peserta didik dapat saja belajar
di rumah masing – masing, di labor atau praktek kerja. Proses belajar mengajara
dilakukanmelalui bantauan modul pelajaran.
Kekuatan dari metode ini adalah bagi yang sudah
terbiasa melakukan proses belajar mandiri, maka dengan tersedianya modul bisa
dipelajari anak didik. Kesulitannya adalah memerlukan pihak eksternal yang
dapat memudahkan proses pembelajaran. Khususnya bagi materi ajar yang tingkat
kerumitannya adalah rumit.
3. Kunjungan Tutor ‘Tutor Visit’
Lain metode distance learning, lain pula pelaksanaan
metode tutor learning. Pada metode
ini peserta tetap belajar di rumah. Namun dalam proses belajar mengajar, para
peserta didik didampingi oleh Tutor.
Kekuatan utama metode ini adalah jika komunitas yang
akan diajarkan adalah sudah tentu. Misalnya petani, peternak, atau pengrajin.
4.
Project Class.
Pada konteks bentuk pengajaran yang keempat
ini, para peserta melakukan kegiatan percobaan – percobaan, khususnya di
laboratoriaum, dan atau di bengkel kerja.
5. Metode Outing
Pada metode outing, yang lagi banyak direplikasi oleh para pemerhati pendidikan. Pada metode ini, para peserta
didik berupaya belajar dari alam, dalam konteks ini tempat mempelajari apa saja
yang lebih terbuka sifatnya, seperti komunitas dan disesuaikan berupa kunjungan
di tempat terbuka.
Soft Skills di Boarding/ Asrama
Selain
kegiatan ekstrakulikuler melalui organisasi kemahasiswaan, maka kegiatan yang
sama juga dapat di lanjutkan di rumah – rumah dan asrama mahasiswa. Memang
kegiatan di rumah dan asrama akan lebih banyak untuk belajar mandiri dan
istirahat, namum sebuah institusi yang baik mesti mendesain kegiatan asrama
terkait dengan pengembangan ranah agama, etika, dan kegiatan minat dan bakat
lainnya.
Review
terhadap berjalannya boarding school
system di Amerika dan Malaysia (Elfindri dkk, 2008) menemukan bahwa anak –
anak yang tinggal di asrama cenderung memiliki sifat filantropis yang relative
maju dibandingkan dengan mereka yang dibesarkan di rumah masing – masing.
Sebuah
contoh asrama di Universitas Andalas
justru memberikan efek samping positif, dimana anak – anak kampus diwajibkan
sholat Subuh berjamaah ke masjid, kemudian mereka bergiliran untuk mempelajari
bahan agama dan berdiskusi. Kegiatan yang indah seperti ini niscaya akan
melahirkan mereka yang memiliki kepekaan hati yang tinggi. Ini yang dimaksud
mengajarkan soft skill di Boarding.
Jika
tidak ada program, maka sebaiknya anak – anak yang mengambil inisiatif.
Kegiatan apa yang mereka rancang. Ini pada gilirannya akan menyebabkan sebuah
boarding menjadi betah untuk dihuni oleh mahasiswa.
Teori Belajar Andragogi dan Penerapannya
Teori Belajar Andragogi dan Penerapannya
Pendahuluan
Belajar merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia yang
vital dalam usahanya untuk mempertahankan hidup dan mengembangkan dirinya dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dirasakannya belajar sebagai suatu
kebutuhan yang vital karena semakin pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang menimbulkan berbagai perubahan yang melanda segenap aspek
kehidupan dan penghidupan manusia. Tanpa belajar, manusia akan mengalami
kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan tuntutan hidup,
kehidupan dan penghidupan yang senantiasa berubah. Dengan demikian belajar
merupakan suatu kebutuhan yang dirasakan sebagai suatu keharusan untuk dipenuhi
sepanjang usia manusia, sejak lahir hingga akhir hayatnya. (Syamsu Mappa, 1994:
1)
Banyak teori mengenai proses pembelajaran didasarkan pada
rumusan pendidikan sebagai suatu proses transmisi budaya. Dari teori itu
lahirlah istilah pedagogi yang diartikan sebagai suatu ilmu dan seni mengajar
anak-anak. Perkembangan selanjutnya, istilah pedagogi tersebut berubah artinya
menjadi ilmu dan seni mengajar.
Di lain pihak perubahan yang terjadi seperti inovasi dalam
teknologi, mobilitas penduduk, perubahan sistem ekonomi, politik dan sejenisnya
begitu cepat terjadi. Dalam kondisi seperti ini, maka pengetahuan yang
diperoleh seseorang ketika ia berumur 21 tahun akan menjadi usang ketika ia
berumur 41 tahun. Apabila demikian, maka pendidikan sebagai suatu proses
transmisi pengetahuan sudah tidak lagi dirumuskan sebagai upaya untuk
mentransformasian pengetahuan, tetapi dirumuskan sebagai proses penemuan
sepanjang hayat terhadap apa yang dibutuhkan untuk diketahui. (Zainudin Arif,
1984:1)
Dalam dua dekade terakhir, di kalangan ahli pendidikan orang
dewasa telah berkembang baik di Eropa maupun di Amerika dan Asia suatu teori
mengenai cara mengajar orang dewasa. Untuk membedakan dengan “pedagogi”,
maka teori tersebut dikenal dengan nama “andragogi”. Istilah “andragogi”
sebagai istilah teori filsafat pendidikan telah digunakan sejak tahun 1833 oleh
Alexander Kapp bangsa Jerman yang bekerja sebagai guru sekolah grammar, istilah
tersebut hilang dalam peredaran zaman. Tahun 1921 istilah tersebut dimunculkan
kembali oleh Eugene Rosentock, seorang pengajar di akademik buruh Frankrut.
Sejak 1970-an istilah “andragogi” semakin banyak
digunakan oleh pada pendidik orang dewasa di Eropa, Amerika dan Asia. Menjelang
akhir abad ke-19 dan memasuki abad ke-20 beberapa ahli psikologi mengadakan
penelitian eksperimen tentang teori belajar walaupun pada waktu itu mereka
menggunakan binatang sebagai objek eksperimen. Penggunaan binatang
sebagai objek eksperimen berdasarkan pemikiran bahwa apabila binatang yang
kecerdasannya dianggap rendah dapat melakukan eksperimen teori belajar, maka
sudah dapat dipastikan bahwa kesperimen itupun dapat pula berlaku bahkan lebih
berhasil pada manusia, oleh karena manusia lebih cerdas daripada binatang.
Di antara
ahli psikologi yang menggunakan binatang sebagai objek eksperimen adalah EL
Thorndike (1974–1949), terkenal dengan teori belajar “Classical
Conditioning” menggunakan anjing sebagai ujicoba. B.F. Skinner (1904),
terkenal dengan teori belajar “Operant Conditioning” menggunakan tikus
dan burung merpati sebagai ujicoba. Dari teori belajar orang dewasa ini muncul
perspektif teori belajar orang dewasa yang biasa disebut dengan “Andragogi
Theory of Adult Learning”. Teori andragogi menjelaskan bagaimana belajar
orang dewasa dalam pembelajaran. Kedua komponen ini sangat berkaitan erat
dengan proses belajar dan pembelajaran. Di antara ahli teori belajar dan
pembelajaran orang dewasa ialah Care Rogers (1969), Paulo Freire (1972), Robert
M. Gagne (1977), Malcolm Knowles (1980), Jack Mezirow (1981).
Dalam
tulisan ini penulis ingin mengupas hal yang dianggap urgen pada teori
belajar “andragogi” menyangkut Pengertian Andragogi, Teori Belajar Orang Dewasa
dan Tokohnya serta Aplikasinya dalam Kegiatan Belajar dan Pembelajaran.
Pengertian Andragogi
Secara
etimologis, andragogi berasal dari bahasa Latin “andros” yang berarti
orang dewasa dan “agogos“ yang berarti memimpin atau melayani.
Knowles (Sudjana,
2005: 62) mendefinisikan andragogi sebagai seni dan ilmu dalam membantu peserta
didik (orang dewasa) untuk belajar (the science and arts of helping adults
learn). Berbeda dengan pedagogi karena istilah ini dapat diartikan sebagai
seni dan ilmu untuk mengajar anak-anak (pedagogy is the science and arts of
teaching children).
Orang dewasa
tidak hanya dilihat dari segi biologis semata, tetapi juga dilihat dari segi
sosial dan psikologis. Secara biologis, seseorang disebut dewasa apabila ia
telah mampu melakukan reproduksi. Secara sosial, seseorang disebut dewasa
apabila ia telah melakukan peran-peran sosial yang biasanya dibebankan kepada
orang dewasa. Secara psikologis, seseorang dikatakan dewasa apabila telah
memiliki tanggung jawab terhadap kehidupan dan keputusan yang diambil.
Darkenwald dan
Meriam (Sudjana, 2005: 62) memandang bahwa seseorang dikatakan dewasa apabila
ia telah melewati masa pendidikan dasar dan telah memasuki usia kerja, yaitu
sejak umur 16 tahun. Dengan
demikian orang dewasa diartikan sebagai orang yang telah memiliki kematangan
fungsi-fungsi biologis, sosial dan psikologis dalam segi-segi pertimbangan,
tanggung jawab, dan peran dalam kehidupan. Namun
kedewasaan seseorang akan bergantung pula pada konteks sosio-kulturalnya.
Kedewasaan itupun merupakan suatu gejala yang selalu mengalami perubahan dan
perkembangan untuk menjadi dewasa. Istilah “andogogi” berasal dari “andr”
dan “agogos” berarti memimpin, mengamong, atau membimbing.
Dugan Laird
(Hendayat S., 2005: 135) mengatakan bahwa andragogi mempelajari bagaimana orang
dewasa belajar. Laird yakin bahwa orang dewasa belajar dengan cara yang secara
signifikan berbeda dengan cara-cara anak dalam memperoleh tingkah laku baru.
Andragogi
adalah suatu model proses pembelajaran peserta didik yang terdiri atas orang
dewasa. Andragogi disebut juga sebagai teknologi pelibatan orang dewasa dalam
pembelajaran. Proses pembelajaran dapat terjadi dengan baik apabila metode dan
teknik pembelajaran melibatkan peserta didik. Keterlibatan diri (ego peserta
didik) adalah kunci keberhasilan dalam pembelajaran orang dewasa. untuk itu
pendidik hendaknya mampu membantu peserta didik untuk: (a) mendefinisikan
kebutuhan belajarnya, (b) merumuskan tujuan belajar, (c) ikut serta memikul
tanggung jawab dalam perencanaan dan penyusunan pengalaman belajar, dan (d)
berpartisipasi dalam mengevaluasi proses dan hasil kegiatan belajar. Dengan
demikian setiap pendidik harus melibatkan peserta didik seoptimal mungkin dalam
kegiatan pembelajaran.
Prosedur yang
perlu ditempuh oleh pendidik sebagaimana dikemukakan Knowles (1986) adalah
sebagai berikut: (a) menciptakan suasana yang kondusif untuk belajar melalui
kerjasama dalam merencanakan program pembelajaran, (b) menemukan kebutuhan
belajar, (c) merumuskan tujuan dan materi yang cocok untuk memenuhi kebutuhan
belajar, (d) merancang pola belajar dalam sejumlah pengalaman belajar untuk
peserta didik, (e) melaksanakan kegiatan belajar dengan menggunakan metode,
teknik dan sarana belajar yang tepat dan (f) menilai kegiatan belajar serta
mendiagnosis kembali kebutuhan belajar untuk kegiatan pembelejaran selanjutnya.
Inti teori andragogi adalah teknologi keterlibatan diri (ego) peserta
didik. Artinya kunci keberhasilan daam proses pembelajaran peserta didik
terletak pada keterlibatan diri mereka dalam proses pembelajaran (Sudjana,
2005: 63).
Teori Belajar Orang Dewasa dan Tokohnya
1. Carl Rogers
Carl R Rogers (1951) mengajukan
konsep pembelajaran yaitu “ Student-Centered Learning” yang intinya yaitu: (1)
kita tidak bisa mengajar orang lain tetapi kita hanya bisa menfasilitasi
belajarnya; (2) Seseorang akan belajar secarasignifikan hanya pada hal-hal yang
dapat memperkuat/menumbuhkan “self”nya; (3) Manusia tidak bisa belajar kalau
berada di bawah tekanan (4) Pendidikan akan membelajarkan peserta didik secara
signifkan bila tidak ada tekanan terhadap peserta didik, dan adanya perbedaan
persepsi/pendapat difasilitasi/diakomodir. Peserta didik orang dewasa menurut
konsep pendidikan adalah: (1) meraka yang berperilaku sebagai orang dewasa,
yaitu orang yang melaksanakan peran sebagai orang dewasa; (2) meraka yang
mempunyai konsep diri sebagai orang dewasa.
Menurut Biehler
(1971: 509-513) dan jarvis (1983: 106-108) Carl Rogers
adalah seorang ahli ilmu jiwa humanistik yang menganjurkan perluasan penggunaan
teknik psikoterapi dalam bidang pembelajaran. Menurut pendapatnya, peserta
belajar dan fasilitator hendaknya memiliki pemahaman yang mendalam mengenai
diri mereka melalui kelompok yang lebih intensif. Pendekatan ini lebih dikenal
dengan istilah latihan sensitivitas: kelompok, group, workshop intensif,
hubungan masyarakat.
Menurut
Rogers, latihan sensitivitas dimaksudkan untuk membantu peserta belajar
berbagai rasa dalam penjajagan sikap dan hubungan interpersonal di antara
mereka. Rogers menanamkan sistem tersebut sebagai pembelajaran yang berpusat
pada peserta belajar. Pembelajaran yang berpusat pada peserta belajar pada
hakekatnya merupakan versi terakhir dari metode penemuan (discovery method).
Rogers
mengemukakan adanya tiga unsur yang penting dalam belajar berpengalaman (experimental
learning), yaitu:
a. Peserta
belajar hendaknya dihadapkan pada masalah nyata yang ingin ditemukan
pemecahannya.
b. Apabila
kesadaran akan masalah telah terbentuk, maka terbentuk pulalah sikap terhadap
masalah tersebut.
c. Adanya
sumber belajar, baik berupa manusia maupun berbentuk bahan tertulis atau
tercetak.
Teori
belajar berpengalaman dari Carl Rogers, Javis mengemukakan bahwa teori tersebut
mengandung nilai keterlibatan personal, intelektual dan afektif yang tinggi,
didasarkan atas prakarsa sendiri (self Initiated). Peranan fasilitator
dalam belajar berpengalaman ialah sekedar membantu memudahkan peserta belajar
menemukan kebutuhan belajar yang bermakna baginya.
Kegiatan
pembelajaran yang dirancang secara sistematis, tahap demi tahap secara ketat,
sebagaimana tujuan-tujuan pembelajaran yang telah dinyatakan secara eksplisit
dan dapat diukur, kondisi belajar yang diatur dan ditentukan, serta
pengalaman-pengalaman belajar yang dipilih untuk siswa, mungkin saja berguna
bagi guru tetapi tidak berarti bagi siswa (Roger dalam Snelbecker, 1974). Hal
tersebut tidak sejalan dengan teori humanistik. Menurut teori ini, agar belajar
bermakna bagi siswa, diperlukan inisiatif dan keterlibatan penuh dari siswa
sendiri. Maka siswa
akan mengalami belajar eksperensial (experiential learning) (Asri
Budiningsih, 2005: 77).
2. Robert M. Gagne
Gagne
mengemukakan yang terpenting bagi pendidikan orang dewasa terutama yang
berkaitan dengan kondisi belajar. Menurutnya ada delapan hierarki tipe belajar
seperti diuraikan sebagai berikut:
- Belajar Berisyarat; belajar
berisyarat dapat pada tingkatan mana saja dari hierarki sebagai suatu
bentuk: Classical Conditioning. Tipe belajar ini dapat terjadi pada
anak-anak maupun orang dewasa dalam bentuk sikap dan prasangka.
- Belajar
Stimulus Respon;
belajar stimulus respon adalah sama dengan Operant Conditioning,
yang responnya berbentuk ganjaran. Dua tipe berikutnya adalah rangkaian
motorik dan verbal, berbeda pada tingkatan yang sama dalam hierarki.
- Rangkaian motorik tidak lain dari belajar
keterampilan, sedangkan
- Rangkaian
verbal adalah belajar dengan cara menghafal (rote learning).
- Diskriminasi
Berganda; dalam
belajar diskriminasi ganda, memasuki kawasan keterampilan intelektual
berupa kemampuan membedakan antara beberapa jenis gejala yang serupa.
Dengan tipe belajar ini, peserta belajar diharapkan memiliki kemampuan
untuk menetapkan mana di antara tipe tersebut yang tepat untuk sesuatu
situasi khusus.
- Belajar
Konsep; adalah
kemampuan berpikir abstrak yang mulai dipelajari pada masa remaja (adolesence).
Belajar konsep merupakan salah satu unsur yang membedakan antara
pendidikan orang dewasa dibandingkan dengan pendidikan anak-anak dilihat
dari tingkatan pemikiran tentang konsep.
- Belajar
Aturan;
merupakan kemampuan merespon terhadap keseluruhan isyarat, merupakan tipe
belajar yang penting dalam pendidikan orang dewasa. Belajar pemecahan
masalah merupakan tingkat tertinggi dalam tipe belajar menurut hierarki
Gagne.
- Pemecahan
Masalah;
Tipe pemecahan masalah bertujuan untuk menemukan jawaban terhadap situasi
problematik.
3. Paulo Freire
Paulo Freire
adalah seorang pendidik di negara Brazilia yang gagasannya tentang pendidikan
orang dewasa. Menurut Flaire, pendidikan dapat dirancang untuk percaya pada
kemampuan diri pribadi (self affirmation) yang pada akhirnya
menghasilkan kemerdekaan diri. Ia
terkenal dengan gagasannya yang disebut dengan conscientization yang
terdapat tiga prinsip:
a. Tak seorang pun yang dapat mengajar siapapun juga,
b. Tak seorang
pun yang belajar sendiri,
c. Orang-orang
harus belajar bersama-sama, bertindak di dalam dan pada dunia mereka.
Gagasan ini
memberikan kesempatan kepada orang dewasa untuk melakukan analisis kritis
mengenali lingkungannya, untuk memperdalam persepsi diri mereka dalam
hubungannya dengan lingkungannya dan untuk membina kepercayaan terhadap
kemampuan sendiri dalam hal kreativitas kapablitasnya untuk melakukan tindakan.
Fasilitator dan peserta belajar hendaknya bersama-sama bertanggung jawab terhadap
berlangsungnya proses pengembangan fasilitator dan peserta belajar.
4. Jack Mezirow
Mezirow adalah Teacher College
Universitas Columbia, beliau mengemukakan: “Belajar dalam kelompok pada umumnya
merupakan alat yang paling efektif untuk menimbulkan perubahan dalam sikap dan
perilaku individu”.
Mezirow berpendapat bahwa pendidikan
sebagai suatu kekuatan pembebasan individu dari belenggu dominasi budaya
penjajah, namun ia melihat kemerdekaan dari perspektif yang lebih bersifat
psikologis, dan kegiatan belajar sebagai suatu metode yang dapat digunakan
untuk mengubah realita masyarakat.
Keinginan belajar terjadi sebagai
akibat dari refleksi pengalaman, dan ia menyatakan adanya perbedaan tingkatan
refleksi, menetapkan perbedaan refleksi dan menetapkan tujuh tingkatan refleksi
yang mungkin terjadi dalam masa kedewasaan, yaitu:
a.
Refleksivitas: kesadaran akan persepsi khusus, arti dan perilaku
b.
Refleksivitas Afektif: kesadaran akan bagaimana individu
merasa tentang apa yang dirasakan, dipikirkan atau dilakukan.
c. Refleksivitas
Diskriminasi: menilai kemanjuran (efficacy) persepsi, dll.
d. Refleksivitas
Pertimbangan: membuat dan menjadikan sadar akan nilai pertimbangan yang
dikemukakan.
e.
Refleksivitas Konseptual: menilai kememadaian konsep yang digunakan
untuk pertimbangan.
f. Refleksivitas
Psikis: pengenalan kebiasaan membuat penilaian perasaan
Mengenai dasar
informasi terbatas.
g. Refleksivitas
Teoritis: kesadaran akan mengapa satu himpunan perspektif lebih atau kurang
memadai untuk menjelaskan pengalaman personal.
5. Malcolm Knowles
Knowles
terkenal dengan teori andragoginya, oleh karena itu dianggap Bapak Teori
Andragogi meskipun bukan dia yang pertama kali menggunakan istilah
tersebut. Andragogi berasal dari akar kata “aner” yang artinya orang (man)
untuk membedakannya dengan “paed” yang artinya anak. Andragogi adalah
seni dan ilmu yang digunakan untuk membantu orang dewasa belajar. Knowles (1970)
andragogi-concepts/mengembangkan konsep andragogi atas empat asumsi pokok yang
berbeda dengan pedagogi. Keempat asumsi pokok itu adalah sebagai berikut Asumsi
Pertama, seseorang tumbuh dan matang konsep dirinya bergerak dari
ketergantungan total menuju ke arah pengarahan diri sendiri. Atau secara
singkat dapat dikatakan pada anak-anak konsep dirinya masih tergantung, sedang
pada orang dewasa konsep dirinya sudah mandiri. Karena kemandirian konsep
dirinya inilah orang dewasa membutuhkan penghargaan orang lain sebagai manusia
yang dapat mengarahkan diri sendiri. Apabila dia menghadapi situasi dimana dia tidak
memungkinkan dirinya menjadi self directing maka akan timbul reaksi tidak
senang atau menolak.
Asumsi kedua, sebagaimana individu tumbuh matang
akan mengumpulkan sejumlah besar pengalaman dimana hal ini menyebabkan dirinya
menjadi sumber belajar yang kaya, dan pada waktu yang sama memberikan dia dasar
yang luas untuk belajar sesuatu yang baru. Oleh karena itu, dalam teknologi
andragogi terjadi penurunan penggunaan teknik transmital seperti yang dipakai
dalam pendidikan tradisional dan lebih-lebih mengembangkan teknik pengalaman
(experimental-technique). Maka penggunaan teknik diskusi, kerja laboratori,
simulasi, pengalaman lapangan, dan lainnya lebih banyak dipakai.
Asumsi ketiga, bahwa pendidikan itu secara
langsung atau tidak langsung, secara implisit atau eksplisit, pasti memainkan
peranan besar dalam mempersiapkan anak dan orang dewasa untuk memperjuangkan
eksistensinya di tengah masayarakat. Karena itu, sekolah dan pendidikan menjadi
sarana ampuh untuk melakukan proses integrasi maupun disintegrasi sosial di
tengah masyarakat (Kartini Kartono, 1992). Selajan dengan itu, kita berasumsi
bahwa setiap individu menjadi matang, maka kesiapan untuk belajar kurang
ditentukan oleh paksaan akademik dan perkembangan biologisnya, tetapi lebih
ditentukan oleh tuntutan-tuntutan tugas perkembangan untuk melakukan peranan
sosialnya. Dengan perkataan lain, orang dewasa belajar sesuatu karena
membutuhkan tingkatan perkembangan mereka yang harus menghadapi peranannya
apakah sebagai pekerja, orang tua, pimpinan suatu organisasi, dan lain-lain.
Kesiapan belajar mereka bukan semata-mata karena paksaan akademik, tetapi
karena kebutuhan hidup dan untuk melaksanakan tugas peran sosialnya.
Asumsi keempat, bahwa anak-anak sudah dikondisikan
untuk memiliki orientasi belajar yang berpusat pada mata pelajaran (subject
centered orientation) karena belajar bagi anak seolah-olah merupakan keharusan
yang dipaksakan dari luar. Sedang orang dewasa berkecenderungan memiliki
orientasi belajar yang berpusat pada pemecahan masalah kehidupan
(problem-centered-orientation). Hal ini dikarenakan belajar bagi orang dewasa
seolah-olah merupakan kebutuhan untuk menghadapi masalah hidupnya. http://blog.persimpangan.com/blog/2007/08/15/ Kempat asumsi dasar itulah yang
dipakai sebagai pembandingan antara konsep pedagogi dan andragogi
Lebih rinci Knowles menegaskan
adanya perbedaan antara belajar bagi orang dewasa dengan belajar bagi anak-anak
dilihat dari segi perkembangan kognitif mereka. Menurut Knowles, ada empat
asumsi utama yang membedakan antara andragogi dan pedagogi, yaitu:
♦ Perbedaan dalam konsep diri, orang
dewasa membutuhkan kebebesan yang lebih bersifat pengarahan diri.
♦ Perbedaan
pengalaman, orang dewasa mengumpulkan pengalaman
♦ Kesiapan
untuk belajar, orang dewasa ingin mempelajari bidang permasalahan yang kini
mereka hadapi dan anggap relevan
♦ Perbedaan
dalam orientasi ke arah kegiatan belajar, orang dewasa orientasinya berpusat
pada masalah dan kurang kemungkinannya berpusat pada subjek.
Knowles
membedakan orientasi belajar antara anak-anak dengan orang dewasa, dilihat dari
segi perspektif waktu yang selanjutnya mengakibatkan terjadinya perbedaan
manfaat yang mereka harapkan dari belajar.
Anak-anak berkecenderungan belajar
untuk memiliki kemampuan yang kelak dibutuhkan untuk melanjutkan pelajaran ke
sekolah lanjutan/ perguruan tinggi, yang memungkinkan mereka memasuki alam
kehidupan yang bahagia dan produktif dalam masa kedewasaan.
Orang dewasa cenderung memilih
kegiatan belajar yang dapat segera diaplikasikan, baik pengetahuan maupun
keterampilan yang dipelajari. Bagi orang dewasa, pendidikan orang dewasa pada
hakekatnya adalah proses peningkatan kemampuan untuk menanggulangi masalah
kehidupan yang dialami sekarang. (Mappa, 1994: 114)
Aplikasi Teori Andragogi dalam Kegiatan Belajar dan
Pembelajaran
Permasalahan yang paling sering
muncul dalam pelaksanaan pendidikan luar sekolah adalah hasil belajar, output
dan outcomenya. Ketidakmampuan peserta memahami dengan baik materi dalam bentuk
pengetahuan, sikap, dan keterampilan merupakan indikasi kurang berhasilnya
kegiatan pendidikan luar sekolah. Rendahnya hasil belajar sebagai indikator
dari ketidakberhasilan pembelajaran, dimana peserta maupun tidak mampu menerima
dengan baik bahan belajar yang diajarkan oleh tutor. Salah satu penyebab
ketidakberhasilan pembelajaran pendidikan luar sekolah adalah metode
pembelajaran yang tidak sesuai dengan prosedur pelaksanaannya dan andragogi
belum diterapkan secara maksimal dalam pelaksanaan pembelajaran.
Secara jelas Knowles (1979: 11-27 )
menyatakan apabila warga belajar telah berumur 17 tahun, penerapan prinsip
andragogi dalam kegiatan pembelajarannya telah menjadi suatu kelayakan. Usia
warga belajar pada kelompok belajar program PLS rata-rata di atas 17 tahun,
sehingga dengan sendirinya penerapan prinsip andragogi pada kegiatan
pembelajarannya semestinya diterapkan.
Perlunya penerapan prinsip andragogi
dalam pendekatan pembelajaran orang dewasa dikarenakan upaya membelajarkan
orang dewasa berbeda dengan upaya membelajarkan anak. Membelajarkan anak (pedagogi)
lebih banyak merupakan upaya mentransmisikan sejumlah pengalaman dan
keterampilan dalam rangka mempersiapkan anak untuk menghadapi kehidupan di masa
datang. Apa yang di transmisikan didasarkan pada pertimbangan warga belajar
sendiri, apakah hal tersebut akan bermanfaat bagi warga belajar di masa datang.
Sebaliknya, pembelajar-an orang dewasa (andragogi) lebih menekankan pada
membimbing dan membantu orang dewasa untuk menemukan pengetahuan, keterampilan,
dan sikap dalam rangka memecahkan, masalah-masalah kehidupan yang dihadapinya.
Ketepatan pendekatan yang digunakan dalam penyelenggaraan suatu kegiatan
pembelajaran tentu akan mempengaruhi hasil belajar warga belajar.
Bagi tenaga
kependidikan luar sekolah, teori belajar orang dewasa tidak hanya diketahui,
tetapi harus dapat diaplikasikan dalam setiap kegiatan belajar dan
membelajarkan agar proses atau interaksi belajar yang dikelolanya dapat
berlangsung secara efektif dan efisien. Berikut akan dikemukakan karakteristik
dari setiap kegiatan belajar secara teori belajar orang dewasa yang dapat
diaplikasikan pada setiap tahap kegiatan belajar.
Penerapan
Andragogi dalam performansi Tutor
Tutor sangat berpengaruh terhadap
proses pembelajaran orang dewasa. Tutor memasuki kelas dengan bekal sejumlah
pengetahuan dan pengalaman. Pengetahuan dan pengalaman ini seharusnya melebihi
dari yang dimiliki oleh peserta. Seorang tutor dengan pengetahuan dan
pengalamannya itu tidaklah cukup untuk membuat peserta untuk berperilaku
belajar dalam kelas melainkan sikap tutor sangatlah penting. Seorang tutor
bukan merupakan “pemaksa” untuk terjadinya pengaruh terhadap peserta, namun
pengaruh itu timbul karena adanya keterlibatan mereka dalam kegiatan belajar.
Untuk mengusahakan adanya perubahan, tutor hendaknya bersikap positif terhadap
warga belajar.
Sikap seorang tutor mempunyai arti
dan pengaruh yang sangat besar terhadap perilaku warga belajar dalam kegiatan
pembelajaran. Umumnya tutor yang memiliki daya tarik akan lebih efektif dari
pada tutor yang tidak menarik. Sikap menyenangkan yang ditampilkan oleh tutor
akan ditanggapi positif oleh peserta, pada gilirannya berpengaruh terhadap
intensitas perilaku belajarnya. Sebaliknya, fasilitator yang menampilkan sikap
tidak menyenangkan akan dinilai negatif oleh peserta, sehingga mengakibatkan
kegiatan belajar menjadi tidak menyenangkan.
Ada beberapa hal yang dianggap
penting dimiliki oleh para tutor dalam proses interaksi belajar yang
memungkinkan tumbuh dan berkembangnya warga belajar, yaitu (1) bersikap
manusiawi dan tidak bereaksi secara mekanis atau memahami masalah peserta didik
hanya secara intelektual; ikut merasakan apa arti manusia dan benda bagi
mereka; berada dan bersatu dengan peserta didik; membiarkan diri sendiri
mengalami atau menyatu dalam pengalaman para peserta didik; merenungkan makna
pengalaman itu sambil menekan penilaian diri sendiri, (2) Bersikap kewajaran:
jujur, apa adanya, konsisten, terbuka; membuka diri; merespon secara tulus
ikhlas, (3) Bersikap respek: mempunyai pandangan positif terhadap peserta;
mengkomunikasikan kehangatan, perhatian, pengertian, menerima orang lain dengan
penghargaan penuh; menghargai perasaan dan pengalaman mereka, dan (4) Membuka
diri: menerima keterbukaan orang lain tanpa menilai dengan ukuran, konsep dan
pengalaman diri sendiri; secara aktif mengungkapkan diri kepada orang lain dan
mau mengambil resiko jika melakukan kekeliruan.
Penerapan
Andragogi dalam Pengorganisasian Bahan Belajar
Pengorganisasian bahan belajar
sedemikian rupa, memudahkan warga belajar dalam mempelajarinya.
Pengorganisasian bahan belajar dapat mempengaruhi tingkat keberhasilan
pembelajaran. Setiap bahan belajar yang ingin disampaikan, harus dilihat dari
ketertarikan warga belajar terhadap materi yang disampaikan, kesesuaian materi
dengan kebutuhan warga belajar, dan kesamaan tingkat dan lingkup pengalaman
antara tutor dan warga belajar
Bahan belajar yang berisi
pengetahuan, keterampilan dan atau nilai-nilai akan disampaikan oleh tutor
kepada warga belajar. Bahan belajar itu pula yang akan dipelajari oleh warga
dalam mencapai tujuan belajar. Materi harus dipilih atas pertimbangan sejauh
mana peranannya dalam menciptakan situasi untuk penyesuaian perilaku warga
belajar di dalam mencapai tujuan belajar yang ditetapkan. Materi itu pun akan
mempengaruhi pertimbangan tutor dalam memilih dan menetapkan teknik
pembelajaran.
Seorang tutor hendaknya mengetahui
faktor-faktor yang patut dipertimbangkan dalam memilih bahan belajar untuk
diajarkan. Ketertarikan warga belajar dalam memilih dan mempelajari bahan
belajar adalah merupakan manifestasi dari perilaku belajar warga belajar.
Faktor-faktor yang patut dipertimbangkan dalam memilih bahan belajar adalah
tingkat kemampuan peserta, keterkaitannya dengan pengalaman yang telah dimiliki
oleh peserta, tingkat daya tarik bahan belajar, dan tingkat kebaharuan dan
aktualisasi bahan.
Penerapan
andragogi dalam Metode Pembelajaran
Penggunaan metode pembelajaran dalam
pendidikan orang dewasa berimplikasi pada penggunaan teknik pembelajaran yang
dipandang cocok digunakan di dalam menumbuhkan perilaku warga belajar. Knowles
mengklasifikasi teknik pembelajaran dalam mencapai tujuan belajar berdasarkan
tipe kegiatan belajar, yakni; sikap, pengetahuan dan keterampilan.
Kegiatan belajar pada pendidikan
orang dewasa masih merupakan kegiatan belajar yang paling efisien dan paling
dapat diterima serta merupakan alat yang dinamis dan fleksibel dalam membantu
orang dewasa belajar. Oleh karena, kegiatan belajar merupakan alat yang dinamis
dan fleksibel dalam membantu orang dewasa, maka penggunaan metode belajar
diperlukan berdasarkan prinsip-prinsip belajar orang dewasa. Metode belajar
orang dewasa adalah cara mengorganisir peserta agar mereka melakukan kegiatan
belajar, baik dalam bentuk kegiatan teori maupun praktek. ( Anonim: 2006)
Metode pembelajaran yang dapat
digunakan dalam kegiatan belajar, harus (1) berpusat pada masalah, (2) menuntut
dan mendorong peserta untuk aktif, (3) mendorong peserta untuk mengemukakan
pengalaman sehari-harinya, (4) menumbuhkan kerja sama, baik antara sesama
peserta, dan antara peserta dengan tutor, dan (5) lebih bersifat pemberian
pengalaman, bukan merupakan transformasi atau penyerapan materi.
Kegiatan
belajar dan membelajarkan pada garis besarnya dapat dibedakan atas tahap-tahap:
1. Perumusan Tujuan Program
Tujuan program menyatakan domain
tingkah laku serta tingkatan tingkah laku yang ingin dicapai sebagai hasil
belajar. Selain dari itu warga belajar dapat memiliki kesiapan mental dalam
mengikuti program kegiatan belajar yang akan dilaksanakan. Gagasan ini merupakan
aplikasi dari hukum kesiapan mental dari Thorndike.
2. Pengembagan Alat Evaluasi dan
Evaluasi Hasil Belajar
Teori belajar orang dewasa yang erat
hubungannya dengan tahap ini antara lain:
a. Pengembangan
Kemamuan Pikir; merupakan teknik pengembangan kemampuan berpikir.
b. Hukum Efek; kegiatan
belajar yang memberikan efek hasil belajar yang menyenangkan seperti nilai yang
baik, cenderung untuk diulangi dan ditingkatkan.
c. Penguatan; pujian
ataupun teguran/peringatan diberikan sesegera mungkin dan secara konsisten.
Warga belajar perlu mengetahui hasil tesnya agar ia terdorong untuk terdorong
lagi, dapat menilai usaha belajarnya untuk menghadapi tes berikutnya.
d. Keputusan
Penyajian; hasil evaluasi dijadikan dasar untuk mengambil
keputusan apakah pelajaran dapat dilanjutkan atau perlu diselenggarakan
penjelasan remedial atau mengulang kembali bagian-bagian yang dianggap sukar.
e. Hasil Evaluasi; merupakan
balikan bagi fasilitator tentang efektivitas/ kemampuan penyajiannya. Juga
merupakan balikan bagi warga belajar untuk mengetahui penguasaan terhadap bahan
pelajaran.
3. Analisis Tugas Belajar dan Identifikasi
Kemampuan Warga Belajar
Kemampuan yang
ingin dicapai senagai tujuan pembelajaran, diurai (dianalisis) atas unsur-unsur
yang telah diidentifikasi tersebut diseleksi sehingga hanya unsur-unsur yang
belum dikuasai sajalah yang dipilih sebagai bahan pelajaran. Pada tahap ini
juga diidentikkan karakteristik individual warga belajar seperti:
kecerdasa/bakat, kebiasaan belajar, motivasi belajar, kemampuan awal dan
kebutuhan warga belajar, terutama yang menyangkut kesulitan belajarnya.
Teori belajar
yang relevan dengan kegiatan analisis tugas, antara lain ialah:
a. Teori Gestalt,
meliputi:
· Hukum Pragmanz
(penuh arti) yaitu pengelompokan objek sesuatu bahan pelajaran berdasaran
kriteria atau kategori tertentu seperti: warna, bentuk, ukuran.
· Hukum kesamaan
atau keteraturan: tugas-tugas yang unsur-unsurnya mempunyai kesamaan dan
teratur, lebih mudah dipahami daripada yang berbeda dan tidak teratur.
b. Teori Medan
Belajar memecahkan masalah adalah
pengembangan struktur kognitif.
4. Penyusunan Strategi
Belajar-Membelajarkan
Strategi belajar-membelajarkan pada
hakikatnya adalah rencana kegiatan belajar dan membelajarkan yang dipilih oleh
fasilitator untuk dilaksanakan, baik oleh warga belajar maupun oleh sumber
belajar dalam rangka usaha pencapaian tujuan pembelajaran yang telah
ditetapkan.
Teori belajar orang dewasa yang erat
hubungannya dengan tahap ini antara lain ialah:
- Teori
Bruner tentang cara mengorganisasikan batang tubuh ilmu yang dipelajari,
urut-urutan pokok bahasan yang disajikan, teknik-teknik penyajian enaktif,
ekonik dan simbolik.
- Teori
penyajian bahan verbal yang bermakna menurut Ausubel.
- Penataan Situasi belajar yang menyangkut
pengelolaan belajar dan kondisi belajar menurut Gagne.
- Metode belajar pemecahan masalah dengan teknik:
ramu pendapat, metode buku catatan kolektif dan metode papan bulletin
kolektif.
- Metode belajar/penyajian menemukan. Metode ini
memudahkan transfer dan retensi, mempertinggi kemampuan memecahkan masalah
serta mengandung morivasi intrinsik.
- Perbedaan individu dalam hal kecepatan belajar
warga belajar.
- Pengaturan urutan-urutan penyajian bahan pelajaran
menurut tingkat kesulitannya dari yang sederhana ke yang lebih sulit.
5. Pelaksanaan Kegiatan Belajar dan
Membelajarkan
Teori belajar
orang dewasa yang erat hubungannya dengan tahapan ini antara lain ialah:
- Hukum kesiapan.
Menyiapkan mental warga belajar untuk mengikuti pelajaran baru dengan
memberikan penjelasan singkat mengenai pengetahuan prasyarat untuk
mengikuti pelajaran baru/hal-hal yang telah dipelajari dan berhubungan
erat dengan pelajaran baru.
- Penguatan dan Motivasi Belajar.
Menjelaskan kegunaan/nilai praktis dari pelajaran baru dalam kehidupan dan
penghidupan.
- Proses Pensyaratan (conditioning).
Memperlihatkan model hasil belajar terminal untuk memudahkan warga belajar
mempelajari pengetahuan dan keterampilan baru.
d. Hukum
Unsur-Unsur yang Identik.
Menstransfer pengalaman pemecahan masalah lainnya yang mempunyai persamaan.
Menerapkan pengetahuan dan keterampilan baru dalam berbagai situasi, kondisi
dan posisi.
e. Metode
Menemukan.
Memberikan kesempatan kepada warga belajar untuk melakukan sendiri keterampilan
yang harus mereka pelajari, jadi bukan fasilitator sendiri yang melakukan.
f. Cara Menarik
Perhatian. Mengaitkan kegiatan belajar dan membelajarkan dengan
kebutuhan warga belajar, mengolah bahan pelajaran sebagai bahan perlombaan
antar individu, kelompok, dan baris.
g. Karya Wisata. Pengalaman
praktik lapangan ataupun di laboratorium dan bengkel, permainan peran,
permainan atau perlombaan, merupakan pengalaman yang berkesan bagi warga
belajar dan memungkinkan mereka lebih mudah mengingat konsep-konsep pengertian
kunci dan sebagainya.
6. Pemantauan Hasil Belajar
Teori belajar
orang dewasa yang erat hbubungannya dengan tahapan ini antara lain:
- Hukum Latihan. Makin sering sesuatu pelajaran
diulang makin dikuasai pelajaran itu.
- Belajar lanjut (overlearning). Belajar lanjut
50% (150%) lebih lama daya tahannya dalam ingatan.
- Revieu. Belajar dengan teknik revieu berkala lebih
efektif daripada belajar terus-menerus tanpa revieu. (Mappa, 1994: 154).
Penutup
Andragogi adalah suatu model proses pembelajaran peserta
didik yang terdiri atas orang dewasa. Andragogi disebut juga sebagai teknologi
pelibatan orang dewasa dalam pembelajaran, yang merupakan pengelompokan teori
belajar berdasarkan usia dan kemampuan/persepsi berpikir untuk mengikuti proses
belajar dalam pembelajaran.
Orang dewasa
ialah mereka yang telah melewati masa remaja dan memiliki kematangan fisiologik
dan psikologi untuk melakukan suatu kegiatan. Metode pembelajaran orang dewasa
terdiri atas metode individual, kelompok, massal. Motivasi belajar orang dewasa
ada dua: (1) Motivasi internal, yang timbul dari dalam diri orang dewasa, (2)
Motivasi eksternal, yang berupa rangsangan yang datang dari luar dirinya.
Belajar dapat diartikan perubahan tingkah laku yang dialami oleh individu dalam
berinteraksi dengan lingkungannya.
Belajar tidak
selalu mensyaratkan kehadiran pendidik (fasilitator) atau gurunya. Pembelajaran
merupakan upaya sistematis untuk membantu orang dewasa atau mengendalikan sikap
dan perilakunya yang bermanfaat bagi dirinya dan lingkungannya. Teori belajar
orang dewasa tidak hanya diketahui, tetapi harus dapat diaplikasikan dalam
setiap kegiatan belajar dan membelajarkan agar proses/interaksi belajar yang
dikelolanya dapat berlangsung secara efektif dan efisien.
Langganan:
Postingan (Atom)