Kamis, 08 Desember 2011

HUBUNGAN AGAMA DAN KORUPSI

Kenapa seseorang bisa menjadi koruptor sekaligus rajin beribadah?

Bagi kaum moralis, fenomena koruptor yang rajin beribadah akan dipandang sebagai bentuk pelecehan terhadap agama. Dalam Islam, sejak awal stigma munafik telah diberikan kepada orang2 yang sengaja memfungsikan Islam sebagai kedok. Dalam Islam, orang munafik dipandang sebagai musuh yang paling berbahaya bahkan dalam Al-Qur’an dan hadits pun banyak disebutkan bahwa kaum munafik adalah sangat dikutuk oleh Allah Swt.

Faktanya sekarang di Indonesia banyak koruptor yang beragama Islam. Mereka mengobarkan api kebencian kepada Barat untuk mengalihkan perhatian publik sehingga terbentuk opini bahwa musuh Islam adalah Barat dan bukan korupsi itu sendiri. Sedangkan kalo kita mau meneliti lebih jauh lagi bahwa penyebab kemelaratan Indonesia bukanlah Barat melainkan korupsi yang merajalela.

Banyaknya fakta bahwa para koruptor rajin beribadah, khususnya mengadakan acara doa bersama atau syukuran naik haji menunjukkan kesan bahwa para kyai/ulama seolah-olah mengamini tindakan korupsi. Kesan tersebut bisa saja menyakitkan, tapi layak diungkapkan. Sebab itu didukung oleh fakta yang cenderung semakin fenomenal.

Fenomena memfungsikan agama sebagai kedok serta kemunafikan para koruptor sering sangat mudah dilihat setiap menjelang kampanye Pemilu dan Pilkada. Betapa banyak elit politik yang terindikasi korup berlomba-lomba memberikan sumbangan dana pembangunan Masjid atau Pesantren untuk mendapatkan fatwa dan dukungan politik dari kyai/ulama dan pengikutnya. Gilanya, semua kyai/ulama tersebut justru gembira dan tidak ada yang keberatan atau sekedar mengkritik perilaku munafik . Contoh lain adalah elit politik yang terindikasi korup banyak yang masuk menjadi anggota partai yang berasaskan agama (lihat kasus Tifatul Sembiring (PKS) yg bermaksud membuat UU penyadapan yang mengkebiri KPK atau Al Amin Nasution (PPP) yang tersangkut kasus korupsi dsb.). Kisruh KKN yang terjadi setiap Penyelenggaraan Ibadah Haji yang melibatkan para pejabat Departemen Agama. Siaran langsung dari televisi tentang hari2 besar agama dan sholat bersama di masjid Istiqlal yang dihadiri para elit politik yang terindikasi korup yang bersanding dengan para kyai/ulama.

Adanya fenomena ini merupakan kontradiksi nyata yang membingungkan masyarakat awam. Bagaimana mungkin para kyai/ulama bisa akur dengan para koruptor?. Namun sayangnya kontradiksi tersebut belum pernah dikaji serius oleh komunitas2 agama di Indonesia secara terbuka. Dengan begitu hal ini mengundang pertanyaan baru : “BENARKAH TELAH TERJADI KOMPROMI ANTARA PARA KORUPTOR DENGAN KALANGAN PEMUKA AGAMA, KARENA SEBAGIAN HASIL KORUPSI DIGUNAKAN UNTUK MENDANAI KEPENTINGAN PEMBANGUNAN MASJID DAN PESANTREN?”

Fenomena semakin merajalelanya korupsi cenderung dibiarakan oleh para kyai/ulama bahkan melalui pengajian para kyai/ulama tersebut senantiasa sengaja berkhotbah tentang hal-hal yang sama sekali tidak menyentuh fenomena korupsi yang semakin merajalela saat ini lucunya para ulama/tersebut sering memperlakukan jama’ahnya seperti anak kecil, mereka sering mendongeng cerita tentang nabi2 terdahulu dengan tujuan menggembosi kemampuan kritis para jama’ahnya terhadap masalah korupsi yang notabene merupakan akar dari segala masalah yang terjadi di Indonesia. Lihat saja sekarang kasus Bank Century, tidak ada kyai/ulama (kecuali GusDur) yang berdiri mendukung dibelakang gerakan massa yang menuntut penuntasan kasus Bank Century yang melibatkan banyak elit politik. Tentu saja hal ini menyedihkan karena diberbagai kesempatan kita selalu terbuai dengan jargon2 “Inidonesia adalah Negara dengan mayoritas muslim”

Solusi dari masalah diatas adalah dengan Revitalisasi agama yang meliputi :1. kyai/ulama harus netral kalo perlu Golput sekalian di setiap Pemilu dan Pilkada2. pemuka agama serta umat beragama harus segera memutuskan hubungan dengan semua pejabat Negara/elit politik yang terindikasi korup. Dengan jalan, menolak tegas undangan acara doa bersama atau syukuran yang diselenggarakan oleh pejabat Negara/elit politik yang terindikasi korup.Dengan cara demikian, ada kemungkinan kaum koruptor tidak semakin ugal-ugalan menjadikan agama sebagai kedok.

Dengan revitalisasi agama, fenomena koruptor tampak religius yang identik dengan merajalelanya kauam munafik yang mengadakan korupsi berjama’ah mungkin akan segera dapat dibabat habis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar