Quo Vadis Gerakan Mahasiswa? Ditulis
oleh Arlian Buana Chrissandi Gerakan mahasiswa di
Indonesia diakui banyak pihak memiliki kekuatan yang hebat dalam
menentukan arah bangsa. Namun dewasa ini, banyak pihak yang menilai
gerakan mahasiswa tidak lagi murni berangkat dari idealisme. Gerakan
mahasiswa sering ditunggangi kepentingan kelompok tertentu.
Tidak
diragukan lagi kontribusi pemuda dan mahasiswa dalam memperjuangkan dan
mempertahankan kemerdekaan. Begitu pula sumbangsih mereka dalam
mengawal pelaksanaan pemerintahan. Sejarah mencatat berbagai peristiwa
besar yang mendemonstrasikan heroisme pemuda. Sampai-sampai seorang
Indonesianis, Ben Anderson, berani mengatakan “sejarah Indonesia adalah
sejarah pemudanya”.
Gerakan Mahasiswa dalam Berita
Dalam
beberapa minggu terakhir, epik cicak vs buaya menjadi isu yang paling
mendominasi pemberitaan media massa. Kemudian dilanjutkan dengan
centurygate. Dan hampir setiap hari, media memberitakan beragam aksi massa dari berbagai organisasi kemahasiswaan.
Sekilas
kita akan mendapatkan gambaran tentang Bung Karno dan Bung Hatta muda
dalam barisan aksi mendukung KPK. Kita percaya bahwa para mahasiswa
tersebut terpanggil hati nuraninya untuk membela dan menegakkan keadilan
di negeri ini. Kita yakin mereka sudah sangat muak dengan mafia
peradilan dan tindak korupsi. Tapi apa lacur, di lapangan ditemukan
fakta bahwa mereka rela berpanas-panas berdemonstrasi bukan karena
cita-cita mulia pengentasan korupsi. Melainkan karena uang yang
dijanjikan dan dikantongi, yang padahal jumlahnya tidak seberapa.
Tentu
tidak semua mahasiswa berdemonstrasi karena uang. Masih ada titisan Soe
Hok Gie yang terselip di barisan. Namun secara umum, kita dapat melihat
perilakunya dari organisasi kemahasiswaan yang ada. Hampir setiap
organisasi kemahasiswaan yang besar, memiliki senior di pemerintahan dan
lembaga perwakilan. Uang dan kepentingan para senior inilah yang
seringkali harus mencederai idealisme.
Reaksioner dan Visioner
Dekadensi
Gerakan mahasiswa yang ditumpangi kepentingan ini, diantaranya karena
mahasiswa dewasa ini cenderung reaksioner. Mahasiswa yang memegang
teguh idealisme pun seringkali harus jatuh reaktif, jatuh pada
lubang horizon jangka pendek.
Misalnya dalam kasus cicak
vs buaya, mahasiswa lebih sering menuntut dibebaskannya Bibit-Chandra
daripada mendesak reformasi sistem peradilan di Indonesia. Padahal visi
besarnya adalah pembenahan sistem peradilan yang tidak boleh lagi
melukai rasa keadilan rakyat. Dan dalam banyak kasus, respons yang
dilemparkan gerakan mahasiswa lebih banyak respons reaktif. Sehingga
lebih banyak gagal secara substansi. Contohnya ketika kenaikan harga
BBM.
Padahal gerakan pemuda dan mahasiswa pada zaman
perjuangan menuju kemerdekaan dapat dijadikan cerminan. Kita dapat
menapaktilasi bagaimana luar biasa visionernya pemuda bernama Soekarno,
Hatta beserta kawan-kawan seperjuangannya. Gerakan pada masa itu bukan
hanya reaksi atas pemerintahan kolonial Hindia Belanda, tapi juga
disertai sebuah visi besar bernama Indonesia. Sehingga respons mereka
terhadap kejadian-kejadian penting pada masa itu adalah respons kreatif.
Seperti kompromi-kompromi dengan tentara Jepang untuk hal-hal yang jauh
lebih besar, yaitu kemerdekaan.
Tantangan Zaman
Lain
daripada itu, organisasi kemahasiswaan di Indonesia dihadapkan dengan
tantangan zaman yang semakin mengglobal. Salah satu ciri dari zaman yang
akan datang adalah tuntutan terhadap seseorang atau kelompok untuk
memiliki identitas dan spesialisasi peran (Alexander Wendt: 1999).
Meskipun
belum terang benar distingsinya, organisasi kemahasiswaan di Indonesia
memiliki identitas yang cukup jelas. Namun sayangnya,
organisasi-organisasi tersebut belum memiliki spesialisasi peran.
Padahal ke depan, Organisasi seperti Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah (IMM) dan lain-lain harus memiliki peran dan peranan khusus
jika tetap ingin unjuk gigi.
Secara kasat mata, kita
dapat melihat gejala zaman ini dari kecenderungan organisasi-organisasi
non-pemerintah (LSM) yang lebih banyak bermain segmentasi isu agar
memiliki peran spesial. Misalnya Indonesia Corruption Watch (ICW) yang
concern
pada isu korupsi, atau WALHI dan Greenpeace yang bicara mengenai
isu-isu lingkungan hidup. Kita tentu boleh bertanya; Apakah organisasi
seperti PMII memiliki data-data valid yang lengkap mengenai korupsi di
Indonesia? Jawabannya pasti tidak dan kita akan segera merujuk pada
ICW.
Respons kreatif dan respons reaktif memang beda-beda
tipis. Dan kecenderungan gerakan mahasiswa dewasa ini yang lebih reaktif
nampaknya disebabkan oleh penguasaan terhadap masalah yang
setengah-setengah. Sehingga menghambat gerakan-gerakan tersebut untuk
memiliki visi besar tentang bangsa ini. Karena terbatasnya pengetahuan
dan kemampuan, gerakan-gerakan mahasiswa berpotensi untuk disulut dan
kendalikan kepentingan kelompok tertentu.
PMII, HMI, IMM
dan organisasi-organisasi lain tentu tak ingin punah tergerus zaman.
Untuk itu, organisasi-organisasi tersebut harus pandai-pandai menjawab
tantangan zaman. Sementara, mengubah organisasi-organisasi kemahasiswaan
menjadi LSM yang bergerak dalam satu isu (bidang) pun rasanya tidak
mungkin. Maka tawaran terbaiknya adalah, organisasi-organisasi mahasiswa
harus mampu mendidik kader-kadernya agar memiliki spesialisasi,
expert dan tersebar di berbagai bidang.
Dengan
banyak kader yang memiliki pengetahuan dan kemampuan khusus yang
lengkap, gerakan mahasiswa akan jauh lebih baik dan memiliki visi besar
untuk membangun bangsa ini. Dan semoga tidak lagi jatuh pragmatis dan
reaktif.