Rabu, 07 Desember 2011

gerakan mahasiswa

Quo Vadis Gerakan Mahasiswa? Ditulis oleh Arlian Buana Chrissandi    Gerakan mahasiswa di Indonesia diakui banyak pihak memiliki kekuatan yang hebat dalam menentukan arah bangsa. Namun dewasa ini, banyak pihak yang menilai gerakan mahasiswa tidak lagi murni berangkat dari idealisme. Gerakan mahasiswa sering ditunggangi kepentingan kelompok tertentu.

Tidak diragukan lagi kontribusi pemuda dan mahasiswa dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan. Begitu pula sumbangsih mereka dalam mengawal pelaksanaan  pemerintahan. Sejarah  mencatat berbagai peristiwa besar yang mendemonstrasikan heroisme pemuda. Sampai-sampai seorang Indonesianis, Ben Anderson, berani mengatakan “sejarah Indonesia adalah sejarah pemudanya”.

Gerakan Mahasiswa dalam Berita
Dalam beberapa minggu terakhir, epik cicak vs buaya menjadi isu yang paling mendominasi pemberitaan media massa. Kemudian dilanjutkan dengan centurygate. Dan hampir setiap hari, media memberitakan beragam aksi massa dari berbagai organisasi kemahasiswaan.

Sekilas kita akan  mendapatkan gambaran tentang Bung Karno dan Bung Hatta muda dalam barisan aksi mendukung KPK. Kita percaya bahwa para mahasiswa tersebut terpanggil hati nuraninya untuk membela dan menegakkan keadilan di negeri ini. Kita yakin mereka sudah sangat muak dengan mafia peradilan dan tindak korupsi. Tapi apa lacur, di lapangan ditemukan fakta bahwa mereka rela berpanas-panas berdemonstrasi bukan karena cita-cita mulia pengentasan korupsi. Melainkan karena uang yang dijanjikan dan dikantongi, yang padahal jumlahnya tidak seberapa.

Tentu tidak semua mahasiswa berdemonstrasi karena uang. Masih ada titisan Soe Hok Gie yang terselip di barisan. Namun secara umum, kita dapat melihat perilakunya dari organisasi kemahasiswaan yang ada. Hampir setiap organisasi kemahasiswaan yang besar, memiliki senior di pemerintahan dan lembaga perwakilan. Uang dan kepentingan para senior inilah yang seringkali harus mencederai idealisme.


Reaksioner dan Visioner
Dekadensi Gerakan mahasiswa yang ditumpangi kepentingan ini,  diantaranya karena mahasiswa dewasa ini cenderung reaksioner. Mahasiswa yang memegang teguh  idealisme  pun seringkali harus jatuh  reaktif,  jatuh pada lubang horizon jangka pendek.

Misalnya dalam kasus cicak vs buaya, mahasiswa lebih sering menuntut dibebaskannya Bibit-Chandra daripada mendesak reformasi sistem peradilan di Indonesia. Padahal visi besarnya adalah pembenahan sistem peradilan yang tidak boleh lagi melukai rasa keadilan rakyat. Dan dalam banyak kasus,  respons yang dilemparkan gerakan mahasiswa lebih banyak respons reaktif. Sehingga lebih banyak gagal secara substansi. Contohnya ketika kenaikan harga BBM.

Padahal gerakan pemuda dan mahasiswa pada zaman perjuangan menuju kemerdekaan dapat dijadikan cerminan. Kita dapat menapaktilasi bagaimana luar biasa visionernya pemuda bernama Soekarno, Hatta beserta kawan-kawan seperjuangannya. Gerakan pada masa itu bukan hanya reaksi atas pemerintahan kolonial Hindia Belanda, tapi juga disertai sebuah visi besar bernama Indonesia. Sehingga respons mereka terhadap kejadian-kejadian penting pada masa itu adalah respons kreatif. Seperti kompromi-kompromi dengan tentara Jepang untuk hal-hal yang jauh lebih besar, yaitu kemerdekaan.

Tantangan Zaman
Lain daripada itu, organisasi kemahasiswaan di Indonesia dihadapkan dengan tantangan zaman yang semakin mengglobal. Salah satu ciri dari zaman yang akan datang adalah tuntutan terhadap seseorang atau kelompok untuk memiliki identitas dan spesialisasi peran (Alexander Wendt: 1999).  

Meskipun belum terang benar distingsinya, organisasi kemahasiswaan di Indonesia memiliki identitas yang cukup jelas. Namun sayangnya, organisasi-organisasi tersebut belum memiliki spesialisasi peran. Padahal ke depan, Organisasi seperti Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan lain-lain harus memiliki peran dan peranan khusus jika tetap ingin unjuk gigi.

Secara kasat mata, kita dapat melihat gejala zaman ini dari kecenderungan organisasi-organisasi non-pemerintah (LSM) yang lebih banyak bermain segmentasi isu agar memiliki peran spesial. Misalnya Indonesia Corruption Watch (ICW) yang concern pada isu korupsi, atau WALHI dan Greenpeace yang bicara mengenai isu-isu lingkungan hidup. Kita tentu boleh bertanya; Apakah organisasi seperti PMII memiliki data-data valid yang lengkap mengenai korupsi di Indonesia?  Jawabannya pasti tidak dan kita akan segera merujuk pada ICW.

Respons kreatif dan respons reaktif memang beda-beda tipis. Dan kecenderungan gerakan mahasiswa dewasa ini yang lebih reaktif nampaknya disebabkan oleh penguasaan terhadap masalah yang setengah-setengah. Sehingga menghambat gerakan-gerakan tersebut untuk memiliki visi besar tentang bangsa ini. Karena terbatasnya pengetahuan dan kemampuan, gerakan-gerakan mahasiswa berpotensi untuk disulut dan kendalikan kepentingan kelompok tertentu.

PMII, HMI, IMM dan organisasi-organisasi lain tentu tak ingin punah tergerus zaman. Untuk itu, organisasi-organisasi tersebut harus pandai-pandai menjawab tantangan zaman. Sementara, mengubah organisasi-organisasi kemahasiswaan menjadi LSM yang bergerak dalam satu isu (bidang) pun rasanya tidak mungkin. Maka tawaran terbaiknya adalah, organisasi-organisasi mahasiswa harus mampu mendidik kader-kadernya agar memiliki spesialisasi, expert dan tersebar di berbagai bidang.

Dengan banyak kader yang memiliki pengetahuan dan kemampuan khusus yang lengkap, gerakan mahasiswa akan jauh lebih baik dan memiliki visi besar untuk membangun bangsa ini. Dan semoga tidak lagi jatuh pragmatis dan reaktif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar