KATA PENGANTAR
Puji syukur saya
ucapkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya lah saya dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul ”Model Pembelajaran dengan Pendekatan Matematika Realistik Indonesia”.
Makalah ini saya
sertai dengan pembahasan-pembahasan tentang Model Pembelajaran dengan Pendekatan Matematika
Realistik Indonesia. Adapun tujuan dari hal tersebut adalah agar
pembaca memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang Model Pembelajaran dengan Pendekatan Matematika
Realistik Indonesia, sehingga mampu dan terampil dalam menerapkannya saat proses belajaran .
Harapan saya,
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Dan saya juga mengharapkan kritik
dan saran, khususnya dari pembaca.
Bangko,
November 2011
Penulis
Diargo
hendroandoni
DAFTAR ISI
Kata
pengantar.................................................................................................................... 1
Daftar isi.............................................................................................................................. 2
BAB.I : Pendahuluan.......................................................................................................... 3
1.1
Latar
Belakang Masalah.................................................................................. 3
1.2
Rumusan
masalah............................................................................................ 4
1.3
tujuan
Makalah................................................................................................ 4
BAB. II :
Pembahasan......................................................................................................... 5
2.1
Devenisi Pembelajaran Matematika Realistik (PMR)....................................... 5
2.2
Penerapan Model Pembelajaran dengan Pendekatan Matematika Realistik
Indonesia 5
2.3
Prinsip Pembelajaran Matematika Realistik...................................................... 6
2.4
Karakteristik Pembelajaran Matematika Realistik............................................ 7
2.5
Langkah-langkah Pembelajaran Matematika Realistik..................................... 9
2.6
Kelebihan dan Kesulitan Penerapan PMR....................................................... 10
2.7
Pendekatan Matematika Realistik.................................................................... 12
2.8
Pemahaman Matematika Realistik.................................................................... 13
2.9
Pendidikan Matematika Realistik..................................................................... 14
BAB. III :
Penutup.............................................................................................................. 16
3.1
Kesimpulan....................................................................................................... 16
3.2
Saran................................................................................................................. 17
Daftar
Pustaka..................................................................................................................... 18
BAB. I : Pendahuluan
1.1
Latar Belakang Masalah.
Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) pada
dasarnya adalah pemanfaatan realitas dan lingkungan yang dipahami peserta didik
untuk memperlancar proses pembelajaran matematika sehingga mencapai tujuan
pendidikan matematika secara lebih baik dari pada masa yang lalu.
PMR dilandasi oleh pandangan bahwa siswa harus aktif,
tidak boleh pasif. Siswa harus aktif mengkonstruksi sendiri pengetahuan
matematika. Siswa didorong dan diberi kebebasan untuk mengekspresikan jalan
pikirannya, menyelesaikan masalah menurut idenya, mengkomunikasikannya, dan
pada saatnya belajar dari temannya sendiri.
Berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran matematika telah banyak dilakukan, baik oleh pemerintah maupun
oleh berbagai pihak yang peduli terhadap pembelajaran matematika sekolah.
Berbagai upaya tersebut antara lain dalam bentuk: penataran guru, kualifikasi pendidikan guru, pembaharuan kurikulum, implementasi model atau metode pembelajaran
baru, penelitian tentang
kesulitan dan kesalahan siswa dalam belajar matematika.
Namun berbagai upaya tersebut belum mencapai hasil
yang optimal, karena berbagai kendala di lapangan.
Akibatnya, sampai saat ini kualitas pembelajaran matematika di Indonesia masih
rendah (Soedjadi, 2001).
Pada umumnya, masalah pembelajaran matematika tampak
dalam penjelasan Soedjadi yang menyatakan bahwa sudah cukup lama kita semua
terbenam dalam pembelajaran matematika yang bagi banyak orang terasa asing,
formal, dan hanya bermain angka atau simbol yang sulit dan serba tak berarti, bahkan tidak sedikit yang merasa ketakutan
untuk menghadapi pelajaran matematika. Untuk
mengatasi masalah pembelajaran seperti itu, maka diperlukan inovasi di bidang
pembelajaran matematika. Salah satu hasil inovasi di bidang pembelajaran
matematika adalah Pembelajaran Matematika Realistik (PMR).
Soedjadi (dalam Suharta, 2004) mengemukakan bahwa agar
pembelajaran menjadi bermakna (meaningful) maka dalam pembelajaran di
kelas perlu mengaitkan pengalaman kehidupan nyata anak dengan ide-ide
matematika. Guru dalam pembelajarannya di kelas tidak mengaitkan dengan skema
yang telah dimiliki oleh siswa dan siswa kurang diberikan kesempatan untuk menemukan
kembali dan mengkonstruksi sendiri ide-ide matematika.
Berdasarkan uraian di atas, matematika merupakan salah satu cabang ilmu
yang sangat penting. Bagi siswa selain untuk
menunjang dan mengembangkan ilmu-ilmu lainnya, matematika juga diperlukan untuk
bekal terjun dan bersosialisasi dalam kehidupan bermasyarakat. Alasan pentingnya matematika untuk dipelajari
karena begitu banyak kegunaannya.
1.2
Rumusan Masalah.
Berdasarkan uraian latar
belakang masalah yang dipaparkan di atas di atas, saya
(penulis) ingin menjelaskan tentang: “bagaimanakah
penerapan
pembelajaran dengan pendekatan
matematika realistik di indonesia?”
1.3
Tujuan Makalah
Tujuan penulisan makalah ini adalah menjelaskan tentang penerapan pembelajaran dengan pendekatan matematika realistik di indonesia.
BAB. II : Pembahasan
2.1
Defenisi Pembelajaran Matematika Realistik (PMR)
Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) adalah
suatu pendekatan pembelajaran matematika yang memiliki 3 prinsip, yaitu:
a.
Penemuan
kembali secara terbimbing dan matematisasi progresif
b.
Fenomena
didaktik
c.
Pengembangan
model sendiri oleh siswa.
Ketiga
prinsip tersebut kemudian dioperasionalkan ke dalam lima karakteristik, yaitu:
a.
Menggunakan
masalah real sebagai langkah awal
b.
Menggunakan
model matematika yang dikembangkan siswa
c.
Mempertimbangkan
kontribusi siswa
d.
Mengoptimalkan
interaksi siswa dengan temannya, siswa dengan guru dan sarana pendukung lain
e.
Mempertimbangkan
keterkaitan antar materi pelajaran
2.2
Penerapan Model Pembelajaran dengan Pendekatan
Matematika Realistik Indonesia.
Penerapan Pembelajaran Matematika
Realistik (PMR) adalah penerapan pembelajaran dengan penggunaan prinsip dan
karakteristik PMR dalam menyusun langkah-langkah pembelajaran dengan setting
kooperatif (model pembelajaran yang
didalamnya mengkondisikan para siswa bekerja bersama-sama didalam
kelompok-kelompok kecil untuk membantu satu sama lain dalam belajar) yang dimuat dalam Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP), yang
bertujuan agar siswa mencapai kompetensi dasar yang telah di rencanakan.
Soedjadi (2003) menyatakan, guru hendaknya jangan
punya anggapan bahwa siswa harus selalu diberi tahu, tetapi harus mulai percaya
bahwa siswa pun memiliki kemampuan-kemampuan yang dapat muncul dari
dirinya sendiri. Selanjutnya dikatakan bahwa guru perlu memberi waktu “cukup”
kepada siswa untuk mencoba berpikir sendiri, menemukan sendiri dan berani
mengungkapkan pendapat sendiri. Konsep-konsep
dalam matematika tidak diajarkan melalui definisi, melainkan melalui
contoh-contoh yang relevan dengan melibatkan konsep tertentu yang sudah
terbentuk dalam pikiran siswa. Pembelajaran secara bermakna terjadi bila siswa
mencoba menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka, tidak
hanya sekedar menghafal.
Maka dapat disimpulkan
bahwa pembelajaran matematika merupakan suatu bentuk kegiatan pembelajaran yang
mengutamakan keterlibatan siswa untuk membangun pengetahuan matematikanya
dengan caranya sendiri.
2.3
Prinsip Pembelajaran
Matematika Realistik
Secara
umum prinsip
pembelajaran matematika realistik, yaitu:
a.
Prinsip Aktivitas
b.
Prinsip Realitas
c.
Prinsip Perjenjangan
d.
Prinsip Jalinan
e.
Prinsip Interaksi
f.
Prinsip Bimbingan
Gravemeijer (1994:90-91), mengemukakan bahwa ada tiga prinsip kunci (utama) dalam PMR, yaitu:
a.
Penemuan kembali secara terbimbing dan proses
matematisasi secara progresif (guided reinvention and progressive
mathematizing). Prinsip
ini menghendaki bahwa, dalam PMR melalui penyelesaian masalah kontekstual yang
diberikan guru di awal pembelajaran, dengan bimbingan dan petunjuk guru yang
diberikan secara terbatas, siswa diarahkan sedemikian rupa sehingga,
seakan-akan siswa mengalami proses menemukan kembali konsep, prinsip,
sifat-sifat dan rumus-rumus
matematika, sebagaimana ketika konsep, prinsip, sifat-sifat dan rumus-rumus
matematika itu ditemukan.
b.
Menentukan
suatu materi. Prinsip ini terkait
dengan suatu gagasan fenomena didaktik, yang menghendaki bahwa di dalam
menentukan suatu materi matematika untuk diajarkan dengan pendekatan PMR,
didasarkan atas dua alasan, yaitu:
·
Untuk
mengungkapkan berbagai macam aplikasi materi itu yang harus diantisipasi dalam
pembelajaran
·
Untuk
dipertimbangkan pantas tidaknya materi itu digunakan sebagai poin-poin untuk
suatu proses matematisasi secara progresif.
c.
Mengembangkan sendiri model-model (self
developed models). Prinsip
ini berfungsi sebagai jembatan antara pengetahuan matematika informal dengan
pengetahuan matematika formal. Dalam menyelesaikan masalah kontekstual, siswa
diberi kebebasan untuk memecahkan
masalah yang ada
2.4
Karakteristik Pembelajaran
Matematika Realistik
Fauzan (2001:2) mengemukakan bahwa pembelajaran yang
menggunakan PMR memiliki beberapa ciri, yaitu:
1.
Matematika dipandang sebagai kegiatan manusia
sehari-hari, sehingga memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari (contextual
problem) merupakan bagian yang esensial
2.
Belajar
matematika berarti bekerja dengan matematika (doing mathematics)
3.
Siswa diberi kesempatan untuk menemukan
konsep-konsep matematika di bawah bimbingan orang dewasa (guru)
4.
Proses
belajar mengajar berlangsung secara interaktif dan siswa menjadi fokus dari
semua aktivitas di kelas
5.
Aktivitas
yang dilakukan meliputi: menemukan masalah-masalah kontekstual (looking for
problems), memecahkan masalah (solving problems), dan mengorganisir
bahan ajar (organizing a subject matter).
Sebagai operasionalisasi ketiga prinsip utama PMR di
atas, menurut Freudenthal, PMR
memiliki lima karakteristik,
yaitu:
a.
Menggunakan masalah kontekstual (the use of
context). Pembelajaran diawali dengan menggunakan masalah kontekstual
sehingga memungkinkan siswa menggunakan pengalaman sebelumnya dan pengetahuan
awal yang dimilikinya secara langsung, tidak dimulai dari sistem formal.
Masalah kontekstual yang diangkat sebagai materi awal dalam pembelajaran harus
sesuai dengan realitas atau lingkungan yang dihadapi siswa dalam kesehariannya
yang sudah dipahami atau mudah dibayangkan. Menurut Treffers dan Goffree, masalah kontekstual dalam PMR memiliki empat
fungsi, yaitu:
·
Untuk
membantu siswa dalam pembentukan konsep matematika
·
Untuk
membentuk model dasar matematika dalam mendukung pola pikir siswa bermatematika
·
Untuk
memanfaatkan realitas sebagai sumber dan domain aplikasi matematika
·
Untuk
melatih kemampuan siswa, khususnya dalam menerapkan matematika pada situasi
nyata (realitas). Realitas yang dimaksud di sini sama dengan kontekstual
b.
Menggunakan instrumen vertikal seperti model, skema,
diagram dan simbol-simbol (use models, bridging by vertical instrument). Istilah
model berkaitan dengan situasi dan model matematika yang dibangun sendiri oleh
siswa (self developed models), yang merupakan jembatan bagi siswa untuk
membuat sendiri model-model dari situasi nyata ke abstrak atau dari situasi
informal ke formal. Artinya siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan
masalah kontekstual yang merupakan keterkaitan antara model situasi dunia nyata
yang relevan dengan lingkungan siswa ke dalam model matematika. Sehingga dari
proses matematisasi horizontal dapat menuju ke matematisasi vertikal.
c.
Menggunakan kontribusi siswa (student
contribution). Siswa diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan
berbagai strategi informal yang dapat mengarahkan pada pengkontruksian berbagai
prosedur untuk memecahkan masalah. Dengan kata lain, kontribusi yang besar
dalam proses pembelajaran diharapkan datang dari siswa, bukan dari guru.
Artinya semua pikiran atau pendapat siswa sangat diperhatikan dan dihargai.
d.
Proses pembelajaran yang interaktif (interactivity).
Mengoptimalkan proses belajar mengajar melalui interaksi antar siswa, siswa
dengan guru dan siswa dengan sarana dan prasarana merupakan hal penting dalam
PMR. Bentuk-bentuk interaksi seperti: negosiasi, penjelasan, pembenaran,
persetujuan, pertanyaan atau refleksi digunakan untuk mencapai bentuk
pengetahuan matematika formal dari bentuk-bentuk pengetahuan matematika
informal yang ditemukan sendiri oleh siswa. Guru harus memberikan kesempatan
kepada siswa untuk mengkomunikasikan ide-ide mereka melalui proses belajar yang
interaktif.
e.
Terkait dengan topik lainnya (intertwining). Berbagai
struktur dan konsep dalam matematika saling berkaitan, sehingga keterkaitan
atau pengintegrasian antar topik atau materi pelajaran perlu dieksplorasi untuk
mendukung agar pembelajaran lebih bermakna. Oleh karena itu dalam PMR
pengintegrasian unit-unit pelajaran matematika merupakan hal yang esensial
(penting). Dengan pengintegrasian itu akan memudahkan siswa untuk memecahkan
masalah. Di samping itu dengan pengintegrasian dalam pembelajaran, waktu
pembelajaran menjadi lebih efisien. Hal ini dapat terlihat melalui masalah
kontekstual yang diberikan.
2.5
Langkah-Langkah Pembelajaran Matematika Realistik
Fauzi (2002:) mengemukakan langkah-langkah di dalam
proses pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR, yaitu:
a.
Langkah pertama: memahami masalah kontekstual, yaitu
guru memberikan masalah kontekstual dalam kehidupan sehari-hari dan meminta
siswa untuk memahami masalah tersebut.
b.
Langkah kedua: menjelaskan masalah kontekstual, yaitu
jika dalam memahami masalah siswa mengalami kesulitan, maka guru menjelaskan
situasi dan kondisi dari soal dengan cara memberikan petunjuk-petunjuk atau
berupa saran seperlunya, terbatas pada bagian-bagian tertentu dari permasalahan
yang belum dipahami.
c.
Langkah ketiga: menyelesaikan masalah kontekstual,
yaitu siswa secara individual menyelesaikan masalah kontekstual dengan cara
mereka sendiri. Cara pemecahan dan jawaban masalah berbeda lebih diutamakan.
Dengan menggunakan lembar kerja, siswa mengerjakan soal. Guru memotivasi siswa
untuk menyelesaikan masalah dengan cara mereka sendiri.
d.
Langkah keempat: membandingkan dan mendiskusikan
jawaban, yaitu guru menyediakan waktu dan kesempatan kepada siswa untuk
membandingkan dan mendiskusikan jawaban masalah secara berkelompok. Siswa
dilatih untuk mengeluarkan ide-ide yang mereka miliki dalam kaitannya dengan
interaksi siswa dalam proses belajar untuk mengoptimalkan pembelajaran.
e.
Langkah kelima: menyimpulkan, yaitu guru memberi
kesempatan kepada siswa untuk menarik kesimpulan tentang suatu konsep atau
prosedur.
Soedjadi (2001:3) menyatakan bahwa dalam pembelajaran
matematika realistik juga diperlukan upaya “mengaktifkan siswa”. Upaya itu
dapat diwujudkan dengan cara:
a.
Mengoptimalkan
keikutsertaan unsur-unsur proses belajar mengajar
b.
Mengoptimalkan
keikutsertaan seluruh sense peserta didik
Salah
satu kemungkinan adalah dengan memberi kesempatan kepada siswa untuk dapat
menemukan atau mengkonstruksi sendiri pengetahuan yang akan dikuasainya. Salah
satu upaya guru untuk merealisasikan pernyataan di atas adalah menetapkan
langkah-langkah pembelajaran yang sesuai dengan prinsip dan karakteristik PMR.
2.6
Kelebihan dan Kesulitan Penerapan PMR
Sebagaimana setiap pendekatan, strategi maupun metode
pembelajaran, di satu sisi memiliki berbagai kelebihan, namun juga memiliki
kesulitan. Demikian halnya dengan PMR,
diantaranya:
a.
Kelebihan Pembelajaran Matematika Realistik
Menurut
Suwarsono (2001:5) terdapat beberapa kekuatan atau kelebihan dari pembelajaran
matematika realistik, yaitu:
·
Pembelajaran matematika realistik memberikan
pengertian yang jelas kepada siswa tentang keterkaitan matematika dengan
kehidupan sehari-hari dan kegunaan pada umumnya bagi manusia.
·
Pembelajaran
matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa
matematika adalah suatu bidang kajian yang dikonstruksi dan dikembangkan
sendiri oleh siswa tidak hanya oleh mereka yang disebut pakar dalam bidang
tersebut.
·
Pembelajaran
matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa cara
penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal dan tidak harus sama
antara yang satu dengan orang yang lain. Setiap orang bisa menemukan atau
menggunakan cara sendiri, asalkan orang itu sungguh-sungguh dalam mengerjakan
soal atau masalah tersebut. Selanjutnya dengan membandingkan cara penyelesaian
yang satu dengan cara penyelesaian yang lain, akan bisa diperoleh cara
penyelesaian yang paling tepat, sesuai dengan tujuan dari proses penyelesaian
masalah tersebut.
·
Pembelajaran matematika realistik memberikan
pengertian yang jelas kepada siswa bahwa dalam mempelajari matematika, proses
pembelajaran merupakan sesuatu yang utama dan orang harus menjalani proses itu
dan berusaha untuk menemukan sendiri konsep-konsep matematika dengan bantuan pihak
lain yang sudah lebih tahu (misalnya guru). Tanpa kemauan untuk menjalani
sendiri proses tersebut, pembelajaran yang bermakna tidak akan tercapai.
b.
Kesulitan dalam Penerapan Pembelajaran Matematika Realistik
Adanya persyaratan-persyaratan tertentu agar kelebihan
PMR dapat muncul justru menimbulkan kesulitan tersendiri dalam menerapkannya.
Kesulitan-kesulitan tersebut, yaitu:
·
Tidak mudah untuk merubah pandangan yang mendasar
tentang berbagai hal, misalnya mengenai siswa, guru dan peranan soal atau masalah
kontekstual, sedang perubahan itu merupakan syarat untuk dapat diterapkannya
PMR.
·
Pencarian soal-soal kontekstual yang memenuhi
syarat-syarat yang dituntut dalam pembelajaran matematika realistik tidak
selalu mudah untuk setiap pokok bahasan matematika yang dipelajari siswa,
terlebih-lebih karena soal-soal tersebut harus bisa diselesaikan dengan
bermacam-macam cara.
·
Tidak mudah bagi guru untuk mendorong siswa agar bisa
menemukan berbagai cara dalam menyelesaikan soal atau memecahkan masalah.
·
Tidak mudah bagi guru untuk memberi bantuan kepada
siswa agar dapat melakukan penemuan kembali konsep-konsep atau prinsip-prinsip
matematika yang dipelajari.
2.7
Pendekatan
Matematika realistik
Menurut Suherman (2001:7), pendekatan (approach)
pembelajaran matematika adalah cara yang ditempuh guru dalam pelaksanaan
pembelajaran agar konsep yang disajikan bisa beradaptasi dengan siswa.
Salah satu pendekatan yang berorientasi pada
matematisasi pengalaman sehari-hari dan menerapkan matematika dalam pengalaman sehari-hari
adalah pendekatan matematika realistik. Pendekatan ini mengacu pada pendapat
Freudenthal yang menyatakan bahwa pembelajaran matematika sebaiknya berangkat
dari aktifitas manusia karena Mathematics is a human activity
(Suherman,2001:128).
Dalam pendekatan matematika realistik dikenal dua
jenis matematisasi yang diformulasikan oleh Treffers (dalam Zainurie, 2007:3)
yaitu matematisasi horizontal dan matematisasi vertikal. Contoh matematisasi
horizontal adalah: pengidentifikasian, perumusan, pemvisualisasian masalah
dalam cara-cara yang berbeda dan pentransformasian masalah dalam dunia real ke
dalam masalah matematik. Matematika dalam tingkat ini disebut matematika
informal. Adapun contoh matematisasi vertikal adalah: representasi
hubungan-hubungan dalam rumus, perbaikan dan penyesuaian model matematika,
penggunaan model-model yang berbeda dan penggeneralisaian.
Menurut Zulkardi (dalam Kania, 2006:19), pedekatan
matematika realistik memiliki lima karakteristik, yaitu:
a.
The use of context (penggunaan konteks),
b.
Theuse of models(penggunaan model),
c.
The use of students own production and construction (
penggunaan kontribusi dari siswa sendiri),
d.
The interactive character of teaching process
(interaktifitas dalam proses pengajaran, dan
e.
The interviewments of various learning strands
(terintegrasi dengan berbagai topik pengajaran lainnya.
Kelima karakteristik pembelajaran menurut filosofi
realistik inilah yang menjiwai setiap aktivitas pembelajaran matematika.
Meskipun kelima karakteristik tersebut menjadi acuan dalam pengembangan
pembelajaran matematika, namun dalam desain pembelajaran kadang-kadang tidak
semua prinsip itu dimunculkan.
2.8
Pemahaman
Matematika Realistik
Pemahaman merupakan terjemahan dari comprehension.
Purwadinata (dalam Emiliani, 2000:7) menyatakan bahwa paham artinya “mengerti
benar”, sehingga pemahaman konsep artinya mengerti benar tentang konsep.
Menurut Driver (dalam Suzana, 2003:22) pemahaman
adalah kemampuan untuk menjelaskan suatu situasi atau suatu tindakan. Dari
pengertian ini ada tiga aspek pemahaman, yaitu:
a.
Kemampuan mengenal
b.
Kemampuan menjelaskan
c.
Kemampuan menginterpretasi atau menarik kesimpulan
Menurut Machener (dalam Sumarmo, 1987:24), untuk
memahami suatu objek secara mendalam, seseorang harus mengetahui:
a.
Objek itu sendiri.
b.
Relasinya dengan objek lain yang sejenis.
c.
Relasinya dengan objek lain yang tidak sejenis.
d.
Relasi dual dengan objek lain yang sejenis.
e.
Relasi dengan objek dalam teori lainnya.
Menurut Sumarmo (1987:24) ada 3 macam pemahaman,
yaitu:
a.
Pengubahan (translation),
b.
Pemberian arti (interpretation),
c.
Pembuatan ekstrapolasi (extrapolation).
Pemahaman siswa terhadap konsep matematika menurut
NCTM (dalam Munggaranti, 2007:25) dapat dilihat dari kemampuan siswa dalam :
a.
Mendefinisikan konsep secara verbal dan tulisan.
b.
Membuat contoh dan non contoh penyangkal.
c.
Mempresentasikan suatu konsep dengan model, diagram,
dan simbol.
d.
Mengubah suatu bentuk representasi ke bentuk yang
lain.
e.
Mengenal berbagai makna dan interpretasi konsep.
f.
Mengidentifikasi sifat-sifat suatu konsep dan mengenal
syarat-syarat yang menentukan suatu konsep.
g.
Membandingkan dan membedakan konsep-konsep.
2.9
Pendidikan
Matematika Realistik.
Pendidikan
Matematika Realistik Indonesia (PMRI) tidak dapat dipisahkan dari institude
Freudenthal. Institut ini didirikan pada tahun 1971, berada di bawah Utrecht
University Belanda. Nama institut diambil dari nama pendirinya yaitu Profesor
Hans Freudenthal (1905-1990), seorang penulis, pendidik dan matematikawan
berkebangsaan Jerman-Belanda. Sejak
tahun 1971, Institut ini mengembangkan suatu pendekatan teoritis terhadap
pembelajaran matematika yang dikenal dengan RME (Realistic Mathematics
Education). RME menggabungkan pandangan tentang apa itu matematika, bagaimana
siswa belajar matematika dan bagaimana matematika harus diajarkan (Hadi, 2005).
Pendidikan matematika realistik dikembangkan berdasarkan pemikiran Hans Freudenthal yang berpendapat bahwa matematika merupakan aktivitas insani (human activities) yang harus dikaitkan dengan realitas. Berdasarkan pemikiran tersebut, PMRI mempunyai ciri antara lain bahwa dalam proses pembelajaran siswa harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali (to reinvent) matematika melalui bimbingan guru, dan bahwa penemuan kembali (reinvention) ide dan konsep matematika tersebut harus dimulai dari penjelajahan berbagai situasi dan persoalan “dunia riil” (Hadi, 2004).
Freudenthal berkeyakinan bahwa siswa tidak boleh dipandang sebagai penerima pasif matematika yang sudah jadi. Menurutnya pendidikan harus mengarahkan siswa kepada penggunaan berbagai situasi dan kesempatan untuk menemukan kembali matematika dengan cara mereka sendiri. Banyak soal yang dapat diangkat dari berbagai konteks (situasi) yang dirasakan bermakna sehingga menjadi sumber belajar.
Konsep matematika muncul dari proses matematisasi, yaitu dimulai dari penyelesaian yang berkait dengan konteks (context link solution), siswa secara perlahan mengembangkan alat dan pemahaman metematik ke tingkat yang lebih formal. Model-model yang muncul dari aktivitas matematik siswa akan dapat mendorong terjadinya interaksi di kelas sehingga mengarah pada level berpikir matematik yang lebih tinggi. Teori PMRI sejalan dengan teori belajar yang berkembang saat ini, seperti kontruktivisme dan pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning, disingkat CTL). Namun, baik pendekatan konstruktivisme maupun CTL mewakili teori belajar secara umum. PMRI merupakan suatu teori pembelajaran yang dikembangkan khusus untuk matematika.
Pendidikan matematika realistik dikembangkan berdasarkan pemikiran Hans Freudenthal yang berpendapat bahwa matematika merupakan aktivitas insani (human activities) yang harus dikaitkan dengan realitas. Berdasarkan pemikiran tersebut, PMRI mempunyai ciri antara lain bahwa dalam proses pembelajaran siswa harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali (to reinvent) matematika melalui bimbingan guru, dan bahwa penemuan kembali (reinvention) ide dan konsep matematika tersebut harus dimulai dari penjelajahan berbagai situasi dan persoalan “dunia riil” (Hadi, 2004).
Freudenthal berkeyakinan bahwa siswa tidak boleh dipandang sebagai penerima pasif matematika yang sudah jadi. Menurutnya pendidikan harus mengarahkan siswa kepada penggunaan berbagai situasi dan kesempatan untuk menemukan kembali matematika dengan cara mereka sendiri. Banyak soal yang dapat diangkat dari berbagai konteks (situasi) yang dirasakan bermakna sehingga menjadi sumber belajar.
Konsep matematika muncul dari proses matematisasi, yaitu dimulai dari penyelesaian yang berkait dengan konteks (context link solution), siswa secara perlahan mengembangkan alat dan pemahaman metematik ke tingkat yang lebih formal. Model-model yang muncul dari aktivitas matematik siswa akan dapat mendorong terjadinya interaksi di kelas sehingga mengarah pada level berpikir matematik yang lebih tinggi. Teori PMRI sejalan dengan teori belajar yang berkembang saat ini, seperti kontruktivisme dan pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning, disingkat CTL). Namun, baik pendekatan konstruktivisme maupun CTL mewakili teori belajar secara umum. PMRI merupakan suatu teori pembelajaran yang dikembangkan khusus untuk matematika.
Paradigma
baru dalam pembelajaran sekarang ini khususnya PMRI menekankan terhadap proses
pembelajaran dimana aktivitas siswa dalam mencari, menemukan dan membangun
sendiri pengetahuan yang dia perlukan benar-benar menjadi pengalaman belajar
tersendiri bagi setiap individu.
Menurut De Lange, pembelajaran matematika dengan pendekatan PMRI meliputi aspek-aspek berikut:
Menurut De Lange, pembelajaran matematika dengan pendekatan PMRI meliputi aspek-aspek berikut:
a.
Memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal)
yang “riil” bagi siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya
sehingga siswa segera terlibat dalam pembelajaran secara bermakna.
b.
Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan
sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pelajaran tersebut.
c.
Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model
simbolik secara informal terdapat persoalan/ masalah yang diajukan.
d.
Pengajaran berlangsung secara interaktif : siswa
menjelaskan dan memberikan alasan terhadap jawaban yang diberikannya, memahami
jawaban temannya (siswa lain), setuju terhadap jawaban temannya, menyatakan
ketidaksetujuan, mencari alternatif penyelesaian yang lain dan melakukan
refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil pelajaran. Paradigma baru pendidikan sekarang ini juga
lebih menekankan pada peserta didik sebagai manusia yang memiliki potensi untuk
belajar dan berkembang.
BAB. III : Penutup
3.1
Kesimpulan.
Berdasarkan pembahasan yang telah di uraikan dapat di simpulkan bahwa:
Penerapan PMR setting kooperatif
untuk mengajarkan materi Aritmetika Sosial dapat dilakukan dengan
langkah-langkah berikut.
a.
Penyajian masalah “Pedagang Buah” dan “Sepeda Motor”.
Siswa diminta untuk memahami masalah-masalah tersebut. Jika terdapat hal-hal
yang kurang dipahami oleh siswa, guru memberikan petunjuk seperlunya terhadap
bagian-bagian yang belum dipahami siswa (fase 4 pembelajaran kooperatif,
membimbing kelompok bekerja dan belajar).
b.
Secara individu siswa memecahkan kedua masalah menurut
cara sendiri. Selanjutnya untuk membimbing siswa mengonstruksi pengertian
harga jual, harga beli, untung, dan rugi, maka siswa memecahkan masalah-masalah
tersebut dengan tuntunan LKS (fase 4 pembelajaran kooperatif, membimbing
kelompok bekerja dan belajar).
c.
Dengan komunikasi interaktif, guru mengarahkan siswa
untuk mencermati keterkaitan antara “harga beli dan harga jual” dengan “untung
dan rugi”. Melalui pengarahan tersebut diharapkan siswa dapat
menyimpulkan bahwa “cara menentukan besar keuntungan adalah harga jual – harga
beli, sedangkan cara menentukan besar kerugian adalah harga beli - harga
jual” (fase 4 pembelajaran kooperatif, membimbing kelompok bekerja dan belajar
dan masih dilakukan pada fase 5 yaitu evaluasi).
d.
Guru bersama siswa merumuskan pengertian harga jual,
harga beli dan cara menentukan besar keuntungan dan kerugian (fase 5
pembelajaran kooperatif, evaluasi).
3.2
Saran.
Adapun saran yang ingin di sampaikan penulis, yaitu:
a.
Apabila pembaca ingin memahami tentang evaluasi.
Maka, jadikanlah evaluasi sebagai sarana untuk mengintropeksi pencapaian tujuan
yang ingin di capai setelah di adakannya penentuan objek untuk di analisa yang
di jadikan dasarkan untuk pemicu pemikiran kritis.
b.
Sebelum memahami sesuatu hendaknya pembaca
menentukan tujuan akhir yang ingin di capai dan membuat strategi belajar agar
mempermudah ketika memahami sesuatu, khhususnya tentang evaluasi.
DAFTAR PUSTAKA
http//:www.RealisticMathematicEducation_di_FMIPA.com
http//:www.ModelPembelajaran_dengan_PendekatanMatematikaRealistikIndonesia.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar